Iklan

terkini

Pemotongan Gaji Karyawan yang Sakit: Pelanggaran Hukum dan Potensi Tindak Pidana

Lpbhnu Situbondo
, 5/14/2025 WIB Last Updated 2025-05-14T06:15:52Z

    

Penulis : Ulul Albab Islami, S.H.*


    Pekerja adalah seseorang yang melakukan pekerjaan dengan menerima upah atau imbalan, sedangkan perusahaan adalah entitas yang menjalankan kegiatan ekonomi atau bisnis untuk menghasilkan barang atau jasa. Hubungan antara pekerja dan perusahaan melibatkan perjanjian kerja, di mana pekerja memberikan tenaga dan waktu, dan perusahaan memberikan upah atau imbalan sebagai balas jasa. Dalam hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja, terdapat hak dan kewajiban yang diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di Indonesia. Salah satu hak fundamental yang dimiliki oleh pekerja adalah hak atas upah. Hak ini dijamin oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dan diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Namun, dalam praktiknya, masih terdapat banyak pelanggaran terhadap hak ini, salah satunya adalah pemotongan gaji terhadap pekerja yang tidak masuk kerja karena sakit dengan bukti yang sah.


    Pasal 93 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan secara eksplisit menyebutkan bahwa pengusaha tetap wajib membayar upah apabila pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sakit, dengan ketentuan menunjukkan surat keterangan dokter. Ini berarti, selama pekerja dapat menunjukkan bukti bahwa ketidakhadirannya disebabkan oleh alasan medis yang sah, maka pengusaha tidak berhak untuk memotong gajinya. Pemotongan gaji dalam kondisi tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak normatif pekerja.


    Lebih lanjut, Pasal 185 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pengusaha yang dengan sengaja melanggar ketentuan mengenai upah dapat dikenai sanksi pidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta. Artinya, tindakan sepihak dari atasan yang memotong gaji tanpa dasar hukum yang sah tidak hanya merupakan pelanggaran administratif, tetapi juga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana ketenagakerjaan.


    Praktik semacam ini juga mencederai prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia di tempat kerja. Pekerja yang sedang sakit memiliki hak untuk memperoleh pemulihan tanpa dihantui kekhawatiran kehilangan penghasilan. Dengan memotong gaji pekerja yang sedang sakit, atasan tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menimbulkan tekanan psikologis dan memperburuk kondisi kesehatan pekerja.


    Sebagai bentuk perlindungan, pekerja yang mengalami pemotongan gaji karena sakit dapat menempuh berbagai upaya hukum. Langkah pertama adalah mengajukan pengaduan ke Dinas Ketenagakerjaan setempat untuk mediasi dan penyelesaian perselisihan hak. Jika tidak berhasil, pekerja dapat menggugat ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) untuk menuntut pemulihan hak atas upah dan sanksi terhadap pengusaha yang melanggar.


    Penting untuk dipahami bahwa hukum ketenagakerjaan di Indonesia menganut prinsip "in favorem", yaitu berpihak pada pekerja sebagai pihak yang secara sosial-ekonomi lebih lemah. Oleh karena itu, semua aturan yang berkaitan dengan perlindungan pekerja harus ditafsirkan demi perlindungan hak pekerja. Dalam hal ini, pekerja yang tidak masuk kerja karena sakit, asalkan disertai surat keterangan dari dokter, tidak dapat dikenakan pemotongan gaji apa pun.


    Kesadaran hukum dari pekerja maupun pengusaha harus terus ditingkatkan agar hubungan industrial di Indonesia dapat berjalan harmonis, adil, dan berdasarkan peraturan yang berlaku. Pekerja berhak mendapatkan perlakuan manusiawi, sementara pengusaha wajib tunduk pada norma hukum demi menjaga stabilitas dan keberlangsungan usaha itu sendiri.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Pemotongan Gaji Karyawan yang Sakit: Pelanggaran Hukum dan Potensi Tindak Pidana

1 ABAD NU

+