Penulis : Ulul Albab Islami, S.H.*
Pekerja adalah seseorang yang melakukan pekerjaan dengan menerima upah atau imbalan, sedangkan perusahaan adalah entitas yang menjalankan kegiatan ekonomi atau bisnis untuk menghasilkan barang atau jasa. Hubungan antara pekerja dan perusahaan melibatkan perjanjian kerja, di mana pekerja memberikan tenaga dan waktu, dan perusahaan memberikan upah atau imbalan sebagai balas jasa. Dalam hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja, terdapat hak dan kewajiban yang diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di Indonesia. Salah satu hak fundamental yang dimiliki oleh pekerja adalah hak atas upah. Hak ini dijamin oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dan diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Namun, dalam praktiknya, masih terdapat banyak pelanggaran terhadap hak ini, salah satunya adalah pemotongan gaji terhadap pekerja yang tidak masuk kerja karena sakit dengan bukti yang sah.
Pasal 93 ayat (2) huruf
a UU Ketenagakerjaan secara eksplisit menyebutkan bahwa pengusaha tetap wajib
membayar upah apabila pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena
sakit, dengan ketentuan menunjukkan surat keterangan dokter. Ini berarti,
selama pekerja dapat menunjukkan bukti bahwa ketidakhadirannya disebabkan oleh
alasan medis yang sah, maka pengusaha tidak berhak untuk memotong gajinya.
Pemotongan gaji dalam kondisi tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap
hak normatif pekerja.
Lebih lanjut, Pasal 185
UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pengusaha yang dengan sengaja melanggar
ketentuan mengenai upah dapat dikenai sanksi pidana dengan pidana penjara
paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun atau denda paling sedikit
Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta. Artinya, tindakan sepihak dari atasan
yang memotong gaji tanpa dasar hukum yang sah tidak hanya merupakan pelanggaran
administratif, tetapi juga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana
ketenagakerjaan.
Praktik semacam ini juga
mencederai prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia di tempat kerja.
Pekerja yang sedang sakit memiliki hak untuk memperoleh pemulihan tanpa
dihantui kekhawatiran kehilangan penghasilan. Dengan memotong gaji pekerja yang
sedang sakit, atasan tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menimbulkan
tekanan psikologis dan memperburuk kondisi kesehatan pekerja.
Sebagai bentuk
perlindungan, pekerja yang mengalami pemotongan gaji karena sakit dapat
menempuh berbagai upaya hukum. Langkah pertama adalah mengajukan pengaduan ke
Dinas Ketenagakerjaan setempat untuk mediasi dan penyelesaian perselisihan hak.
Jika tidak berhasil, pekerja dapat menggugat ke Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI) untuk menuntut pemulihan hak atas upah dan sanksi terhadap pengusaha yang
melanggar.
Penting untuk dipahami
bahwa hukum ketenagakerjaan di Indonesia menganut prinsip "in
favorem", yaitu berpihak pada pekerja sebagai pihak yang secara
sosial-ekonomi lebih lemah. Oleh karena itu, semua aturan yang berkaitan dengan
perlindungan pekerja harus ditafsirkan demi perlindungan hak pekerja. Dalam hal
ini, pekerja yang tidak masuk kerja karena sakit, asalkan disertai surat
keterangan dari dokter, tidak dapat dikenakan pemotongan gaji apa pun.